Rasanya Menjadi Ibu Rumah Tangga Setelah 10 Tahun Bekerja


Melayani suami. Merawat dan mendidik anak. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bersantai. Bahagia.

Itulah kurang lebih bayangan saya kalau jadi Ibu Rumah Tangga. Nyatanya, duh aduh duh, ulala…😅

 

Permulaan Niat

"Saya ingin jadi Ibu Rumah Tangga Ms, seperti bunda saya."

Tak disangka jawaban itu keluar dari seorang siswa yang rupanya jelita, hatinya bagaikan permata, dan pikirannya bak lampu kristal yang menyala terang. 

Cita-citanya itu sangat berbanding dengan impian teman-temannya yang ingin menjadi pebisnis, dokter, psikolog, atau karir lain yang menghasilkan cuan buanyak.

Wow! Luar biasa. Menurut saya.

Mungkin biasa saja ya bagi yang lain. Tapi mohon maaf sebelumnya, karena saya banyak sekali mendengar sisi negatif dari seorang Ibu Rumah Tangga. Dari hanya dasteran saja hingga cuma bisa mengandalkan bulanan dari suami.

ilustrasi Ibu Rumah Tangga

Membosankan. Tidak keren. Menyedihkan!

Saya yang di masa itu telah mempetakan masa depan karir saya bukanlah di rumah, akhirnya pelan-pelan melirik gimana sih sebenarnya jadi IRT itu.

Saya mulai mengobservasi siswa-siswa yang ibunya IRT. Kebanyakan anaknya berakhlak baik dan berprestasi. Dilihat dari keadaan keluarga juga sangat harmonis. Hubungan ayah ibu dan anak sangat dekat. Finansial pun tidak kurang.

Well, Setidaknya itulah yang terlihat di permukaan.

Selanjutnya, saya pun mulai mempelajari tentang para ibunya. Hampir semuanya cerdas, baik, menarik, pintar dalam berkomunikasi, sangat menghargai orang, dan tentu saja aktif terlibat dalam kegiatan sekolah.

Itu dia. Berbeda sekali ya dengan bayangan saya selama ini. Saya sudah memukul rata semuanya. Rupanya selama ini saya kurang jalan-jalan. Hahaha. 

ilustrasi keluarga bahagia

Ya, mungkin sebenarnya karena IRT yang saya observasi berasal dari kalangan menengah ke atas. Jadi tentu saja berbeda. Tapi tetap saja saya tertarik walau di saat itu saya tidak tahu bagaimana nasib saya ke depan.

Ketertarikan saya semakin meningkat. Apalagi dengan seringnya saya mendengar kajian di Youtube tentang bagaimana pentingnya peran seorang istri dan ibu dalam membentuk keluarga yang sukses dan bahagia.

Saya pun memimpikan keluarga yang seperti itu. Tapi melihat pekerjaan saya yang sibuknya macam 24 jam per hari, rasanya agak mustahil mewujudkan itu.

Pelan-pelan, mimpi saya berubah. Saya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga, tapi yang tetap berkarya walau dari rumah. 

 

Menjadi Ibu Rumah Tangga

Beberapa bulan setelah menikah, saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Padahal pada saat itu karir saya sangat bagus, dengan jabatan yang oke dan gaji yang lumayan.

Alasannya? Saya hamil. Sedangkan suami dan orang tua tidak tinggal bersama saya. Intinya tidak ada yang bisa membantu saya. Jadilah itu alasan yang sangat sempurna untuk resign.

Tapi kehidupan sebagai Ibu Rumah Tangga bermula ketika saya menyusul suami ke Inggris setelah sempat LDM sekitar 5 bulan.

Awalnya sih serasa bulan madu saja. Tidak ada lagi lelah dan stress karena menyiapkan dokumen yang menggunung, mengejar target yang menggila, rapat yang tak ada habisnya, dan pastinya pesan dari grup wa kerja yang terus menghantui.

Oh bebas rasanya!


Saya bahagia walaupun hanya melakukan pekerjaan rumah saja. Bahkan saya sangat menikmatinya. Terutama memasak. Itulah saatnya saya mencoba resep ini itu. 

Hasilnya, ada yang bikin suami saya tersenyum dengan mata berbinar, tapi ada pula yang bikin bibirnya mengkerut. Haha.

Tapi lama-kelamaan, saya terlalu memanjakan diri dengan bulan madu itu. Tanpa saya sadari, saya mulai meninggalkan banyak hal. 

Sebelumnya saya senang membaca, menulis, melukis, membuat video, dan masih banyak yang lainnya di tengah kesibukan pekerjaan saya.

Lama-lama ada yang berbeda dengan saya. Sulit bagi saya untuk mengeluarkan berbagai macam pikiran dan perasaan yang terpasung di dalam. Dari seorang yang sangat ekstrovert, saya merasa kenapa sekarang malah menjadi introvert.

Ketika bertemu dengan orang baru, saya seperti tidak tahu mau berbicara apa. Jangankan dengan mereka, dengan suami saja saya tidak tahu. Hanya sekedar obrolan biasa, bukan yang berarti. 

Apalagi ketika anak saya lahir. Kesibukan ibu baru pun dimulai. Saya yang tidak berpengalaman mengurus bayi merasakan sangat-sangat kesulitan. Apalagi tanpa bantuan orang lain. Hanya berdua dengan suami.

ilustrasi merawat bayi

Jadilah impian saya untuk menjadi Ibu Rumah Tangga yang luar biasa terbang entah ke mana. Jangankan yang berkarya dari rumah, bisa buang hajat saja sudah bersyukur rasanya, haha. Ada yang sepengalaman?


Mimpi Itu Masih Ada

"Dek, menurut adek pekerjaan mana yang paling capek, dokter, guru, ibu rumah tangga, atau polisi?"

Tanyaku suatu hari kepada seorang keponakanku yang masih berusia 8 tahun.

"Semuanya capek sih," jawabnya.

"Kalau yang paling capek?"

"Mungkin ibu rumah tangga ya. Karena harus selalu mengurus anak kayak Bunda, terus juga bersih-bersih rumah, masak, nyuci."

Ooh.. jawabannya itu bikin adem. Seperti angin sepoi-sepoi di siang terik.

Well, begitulah rupanya rasanya menjadi IRT. Persis seperti yang diucapkan keponakan saya. Pekerjaan yang dilakukan itu-itu saja, tapi gak pernah habisnya. Gak ada istirahatnya. Gak ada hari liburnya.

Lalu, apakah saya menyesal dengan pilihan saya?

Oh tidak. Tidak sama sekali. Bahkan saya tetap akan memilih hal yang sama jika harus mengulang waktu. Saya sangat puas dengan keputusan ini. Karena saya lebih bisa menjalankan peran saya sebagai istri dan ibu. 

Itu kebahagiaan yang tak tertandingi dengan apapun.

Hanya saja, selama menjadi IRT, rasanya banyak sekali kualitas diri saya yang makin menurun. Bahkan hilang. Duh, itu merupakan peringatan keras bagi saya. Bisa-bisa ini merusak impian saya.

Saya mencoba melihat kembali, apa sebenarnya yang salah?

Sungguh saya tahu jawabannya. Tidak lain tidak bukan adalah manajemen waktu.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya gemar melakukan hobi-hobi produktif yang menjadi beberapa cara healing saya di waktu itu. 

Berbeda sekali dengan saya yang sekarang yang lebih memilih menonton video pendek satu ke yang lainnya, scrolling down fb atau IG. Tak terelakkan, saya merasa tidak berarti ketika melihat orang lain mencapai sesuatu. Tapi rasanya juga tidak sanggup kalau seperti itu. 

Duh bukannya healing malah killing jadinya, kan.

Itu yang saya sesali. Waktu habis percuma. 

Tentu saja ini tidak bisa dilanjutkan. Atau saya akan makin terpuruk nantinya. Saya tahu ini akan berat dan rasanya susah untuk kembali seperti semula. Tapi pasti bisa dicoba. Satu per satu. InsyaAllah.

Karena impian menjadi Ibu Rumah Tangga yang luar biasa itu masih ada. Eh, tapi btw itu tidak bersifat mutlak ya. Jika keadaan menuntut untuk bekerja di luar, ya bekerjalah saya 😁.

Baiklah, untuk penutup tulisan ini, saya ingin menulis lanjutan percakapan saya dengan si keponakan.

"Kalau yang paling kurang capek, apa dek?"

"..........."

Penasaran jawabannya apa?

Ah, sudahlah! Seperti yang dikatakannya di awal semua pekerjaan itu melelahkan. Sama saja sebenarnya, kalo lagi ada masalah rasa sakit di kepalanya itu sama juga kok😊.



Comments

Popular posts from this blog

Waduh, Bahasa Inggris Anda Takkan Meningkat Walau Tinggal di Inggris!

Three Journeys, Three Countries and Many Lessons