Dari Aceh ke Jawa: Kisah Lucu Seputar Aksen dan Bahasa


"Mba darimana? Dari Malaysia ya?

Pertanyaan itu sering kali mampir ke telinga saya waktu masih mengajar di Pulau Jawa. Eh, beberapa hari lalu, ternyata saya masih mendapatkan pertanyaan yang sama, kali ini dari anak-anak yang lagi main sama si kecil. "Tante dari mana? Bukan dari Indonesia, ya? Dari Malaysia, ya?"

Hahaha, saya tertawa. Apa sih yang buat mereka penasaran seperti itu? Apakah karena wajah saya mirip Siti Nurhaliza? Haha, jelas tidak, lah! 

Rupanya tak lain tak bukan, itu karena aksen saya yang menurut mereka terdengar seperti Kak Ros di serial kartun Upin Ipin. Betul-betul-betul!

Hahaha, baiklah, ini dia cerita pengalaman saya tentang aksen yang sangat menarik perhatian ini.


Bahasa Indonesia Rasa Upin Ipin


Ketika saya masih kecil, semua orang di kampung, dari yang masih bayi sampai yang sudah kakek-nenek, selalu berbicara dalam bahasa Aceh. Bahasa Indonesia? Bisa, sih. Tapi ya sangat jarang digunakan. Jika ada yang tidak bisa bahasa Aceh, bisa dipastikan dia berasal dari kota, anak tentara atau anak polisi.

Mungkin karena itu pula, kami agak malu berbicara dalam bahasa Indonesia. Duh, rasanya aneh sekali! Apalagi jika memiliki logat yang kental, plus pelafalan huruf 't' dan 'l' yang tebal. 

Saya masih ingat, betapa guru SD saya meminta kami untuk berkomunikasi dalam bahasa nasional di sekolah. Perintah itu hanya kami lakukan di depannya saja, di belakangnya kami balik lagi menggunakan bahasa ternyaman kami.

Uniknya, saya dan teman-teman malah beralih ke bahasa Indonesia ketika bermain "orang-orangan". Mungkin karena penampakan orang-orangan itu seperti orang kota ya, lebih tepatnya orang berkulit putih. Putih sama dengan kota. Kota sama dengan bahasa Indonesia. Begitulah pola pikir kami yang sederhana.

Qadarullah, saya bersekolah di daerah yang berbeda untuk setiap jenjang pendidikan. Lambat laun, saya terbiasa berbicara dalam bahasa Indonesia karena berjumpa dengan banyak teman dari berbagai tempat. 

Sejauh itu pula, saya merasa bahasa Indonesia saya biasa saja, netral. Tidak ke-Acehan, atau istilahnya ber-ATT (Aceh Tok-Tok). Jadi, pede-pede aja ngomong dalam bahasa itu.

Beda cerita dengan salah satu saudara saya yang sangat enggan berbicara dalam bahasa Indonesia. Katanya, "Euntreuk iteubiet mandum ukheue-ukheue dan uram-uram. Artinya "Nanti keluar semua akar-akar dan pangkalnya. Alias, takut aksen bahasa Acehnya kentara sekali. Hahaha.

Hingga tibalah saat saya pindah ke Pulau Jawa untuk mengajar. Di sanalah, saya baru menyadari jika bahasa Indonesia saya sangat beraksen walaupun tidak ber ATT. Ya bagaimana tidak, sekolah itu isinya mayoritas orang Jawa – kurang lebih 95 persen! Dengan logat medhok khas mereka, jelas logat saya bagaikan lampu sorot di malam hari, mencolok dan menarik perhatian.

Awalnya kesal juga sih karena jadi bahan perhatian. Tapi lama-lama, saya malah bangga! Bukan apa-apa, saya melihat ada sesuatu yang istimewa dari orang-orang Jawa ini. Mereka sangat bangga dengan bahasa Jawa dan logat medhoknya.

Mungkin ada juga yang malu. Tapi bagaimanapun mereka berusaha menghilangkannya, medhoknya tetap terdengar, haha. Lalu, kenapa saya harus malu dengan logat saya? Biarlah itu menjadi khas saya. 

Tinggal di Jawa membuat saya terbiasa dengan logat di sana. Alhasil, setiap kali mudik, terdengar jelas sekali betapa 'Upin-Ipin'-nya bahasa Indonesia orang Aceh. Ya, karena jika dideskripsikan, logat Aceh memang sedikit mirip dengan logat bahasa Melayu. 

Jadi, jangan berpikir bisa menyembunyikannya, ya syedara lon (saudaraku). Karena saya bisa mendengar aksen Anda secara nyata, hahaha.


Kerupuk yang Masuk Angin dan Cerita Konyol Lainnya


Kalau logat sulit saya ubah, ada beberapa hal dalam menggunakan bahasa Indonesia yang harus saya perbaiki. Kata teman saya, demi kemaslahatan umat. Hahaha. Karena saya berbicara dalam dialek yang berbeda, tentu saja ada kosa kata dan penyebutan yang berbeda. Jika ini tidak saya ubah, bisa terjadi kesalahpahaman. Seperti cerita-cerita konyol di bawah ini.

Suatu hari, saya sedang makan siang dengan murid-murid di asrama. Lalu saya mengambil kerupuk dari loyang, dan menggigitnya. "Kerupuk ini gak enak lagi. Udah masuk angin."

Spontan semua murid tertawa. Saya heran, "Kenapa kalian tertawa?"

"Ms lucu... hahaha," kata salah satunya.

"Apanya yang lucu?" Saya penasaran.

"Ms bilang kerupuknya masuk angin. Kayak untuk orang aja."

"Iya maksudnya kerupuknya itu udah lembek, gak renyah lagi." Saya kira dia tidak paham.

"Iya... melempem, kan, Ms? Tapi Ms bilangnya masuk angin. Haha..."

"Oh ya Allah... di Aceh, kami bilangnya masuk angin." 

"Hah? Jadi beneran? Kirain tadi Ms becanda."

"Hahaha..."

Kami semua pun tertawa terbahak-bahak.

Di lain hari, saya dan siswa-siswa sedang jalan-jalan untuk berbuka puasa. Saya lupa, entah bagaimana ceritanya, kami berhenti di satu tempat, tapi beberapa siswa tidak bersama kami. 

Akhirnya, saya menelpon salah satunya dan menanyakan di mana posisi mereka. Saya juga mengatakan bahwa kami sedang berada di galon dan meminta mereka untuk ke situ. Siswa saya itu terus mengatakan dia tidak melihatnya. Saya sudah lelah menjelaskan posisi padanya, tapi dia tidak paham juga. Padahal dia sudah berada di sekitar tempat itu.

"Dekat sini adanya SPBU, Ms."

Oh boy! Terulang lagi deeh... Iya, itu dia, seharusnya SPBU.

Ada juga cerita lucu yang dialami dua teman saya, satu dari Aceh dan satu dari Jakarta. Di Aceh, sebagian orang menyebut sepeda motor itu kereta. Nah, begini kira-kira percakapan mereka. Sebut saja yang Aceh A, yang dari Jakarta J.



A   : "Hampir semua orang Aceh punya kereta."
J    : "Apa?"(terkejut)
A   : "Iya, bahkan misalnya di rumah ada 4 orang, keempat-empatnya punya kereta."
J    : "Hah? (tidak bisa membayangkan) Lalu gimana relnya?"

Hahaha. Bisa dibayangkan bagaimana akhirnya, kan? Si A tersadar jika J berpikir yang dia maksud adalah kereta api. Si J sudah tidak bisa membayangkan ada rel kereta api dari setiap rumah. Terus gimana bentuknya? Aduh!

Itulah yang dimaksud demi kemaslahatan umat. Akhirnya terbiasa atau tidak, saya harus membiasakan diri dengan kata-kata tersebut. Masih banyak sebenarnya kata-kata yang berbeda, seperti siap/selesai, kali/banget, pipet/sedotan, doorsmeer/tempat cuci motor, dan lain-lain pastinya.


Beraksen? Ah, Santai Saja...


Jika dibandingkan dengan dulu, keadaan sekarang sangatlah berbeda. Sekarang, banyak orang tua di Aceh, meskipun di kampung-kampung pelosok sana, mulai berbicara dalam bahasa Indonesia dengan anak-anaknya.

Salah satu alasannya? Supaya anaknya lancar dan percaya diri saat ngomong bahasa Indonesia. Mereka tidak mau anak-anaknya punya aksen Aceh yang ber-ATT yang kadang dianggap kampungan. 

Namun sayangnya, gara-gara itu, banyak anak sekarang yang sudah tidak bisa berbahasa Aceh lagi. Bahkan yang parahnya lagi, mereka malu dan tak mau ngomong dalam bahasa Aceh.

Setelah meninggalkan Pulau Jawa 10 tahun yang lalu, saya balik lagi ke sana. Dan ternyata, keadaan di sana masih sama. Anak-anak dan orang dewasa di sana tetap berbicara dalam bahasa Jawa, sepenuhnya atau sebagiannya, atau berbicara dalam bahasa Indonesia dengan medhoknya yang kuat. Dan mereka terlihat biasa saja dengan itu.

Melihat itu, mungkin kita perlu belajar dari mereka. Sungguh beraksen itu tidak masalah, malah itu jadi keunikan tersendiri. Yang penting adalah bahasa yang kita pakai baik, jelas dan sopan. So, bahasa Indonesia Anda beraksen? Ah, santai saja!

Comments

Popular posts from this blog

Three Journeys, Three Countries and Many Lessons

Waduh, Bahasa Inggris Anda Takkan Meningkat Walau Tinggal di Inggris!

Rasanya Menjadi Ibu Rumah Tangga Setelah 10 Tahun Bekerja